KRIIIING !!! Bel tanda pulang sekolah berbunyi
nyaring. Itu adalah waktu yang paling kutunggu-tunggu. Betapa tidak, sudah
beberapa tahun belakangan ini Aku merasa tak betah lagi di sekolah. Disini
halamannya terasa sempit. Mungkin karena lokasinya yang berada di pusat kota,
maka tempat yang tersedia sangat sedikit. Ditambah dengan siswa yang selalu
bertambah banyak setiap tahunnya, maka tak ada pilihan lain bagi sekolah untuk
menambah ruangan kelas keatas, bertingkat-tingkat.
Seperti kelasku ini, berada
di tingkat 3, sedangkan halaman untuk bermain, kantin, dan kantor guru ada
dibawah sana. Belum lagi dengan tangganya yang sempit. Murid-murid harus
mengantri panjang untuk sekedar naik menuju kelas, atau turun menuju kantin.
Membayangkannya saja Aku sudah merasa capek. Jadilah setiap pagi hari Aku
sering malas berangkat, mogok sekolah. Abi sampai harus memaksaku tetap
berangkat, dan Aku sampai harus menangis dan cemberut. Abi tak tahu sih, di sekolah
ini terlalu ramai, dan Aku tak terlalu suka tempat yang ramai.
Aku mengambil tas, cepat keluar dari kelas, lalu melongok
kebawah, kearah halaman sekolah. Diantara banyak sekali orang dan motor-motor
yang diparkir, terlihat Abi dan Zahdan adikku sedang melambaikan tangannya padaku
disana. Aku bergegas turun, butuh waktu cukup lama karena mengantri. Beberapa
siswa sampai berteriak kesal, “Yang didepan sana cepetan dong!!” teriaknya. Aku
diam saja, tak berani mengomentarinya.
Beberapa lama kemudian, Aku berhasil menghampiri Abi
dan Zahdan. Kulihat Zahdan sedang
memegang buku luar angkasa, itu adalah salah satu buku kesukaanku. “Zahdan,
boleh gak Kakak pinjam bukunya?” tanyaku. “Boleh” kata adikku, sambil
memberikan buku itu. “Wah, bukunya lengkap banget! Banyak ilmu-ilmu yang bisa
didapatkan. Ada Planet, Aurora, Bintang, dan Teleskop besar!” kataku. Abi
tersenyum melihatku, Ia kemudian menuntun tanganku dan Zahdan keluar dari area
sekolah.
Saat di mobil, Aku merasa aneh. Karena tak seperti
biasanya, Abi tiba-tiba saja berkata, “Ziya, Abi mau bicara serius sama Ziya”
kata Abi.
Aku merasa seperti tersambar petir, “Abi jangan kagetin Ziya seperti
itu dong! Kakak nanti bisa pingsan” kataku.
Abi berkata, “Eh, iya. Maafin Abi
ya! Gini, Maziya betah ga di sekolah Kota?” tanya Abi.
Aku langsung berkata “Enggak!”
jawabku, spontan.
Abi bilang, “Kalau Ziya mau, Abi sama Ummi udah cari sekolah
yang cocok buat Ziya. Nama sekolahnya Bhaskara. Tempatnya ada di daerah Tarogong.
Tapi, sekolahnya itu baru ada kelas satu sampai kelas empat. Jadi muridnya
sedikit, paling banyak satu kelas hanya ada 25 siswa. Disana, ada Taman Baca,
Lab Komputer, juga ada ekskul memanah. Ziya mau lihat dulu kesana nggak?” tanya
Abi.
Mendengar penjelasan Abi, mataku berbinar-binar, “Mau, Kakak mau lihat
kesana!” kataku, bersemangat.
“Ya sudah, sekarang ini jam pulang sekolah di
Bhaskara, Kita lihat kesana sekarang” kata Abi.
Aku mengangguk setuju.
Kemudian, Abi mengantarku ke sekolah tersebut.
Tiba di sekolah Bhaskara, Kulihat memang ada sebuah
Taman Baca. Aku masuk ke gedung lainnya. Disana terdapat Lab Komputer dan ruangan
berisi banyak sekali alat musik khas Sunda bernama Angklung. Abi berbicara
bersama Kepala Sekolah, meminta izin berkeliling di Sekolah.
Tak lama, Abi
mengantarku ke Lab Komputer dan ruangan tempat Angklung. Aku juga melihat halaman
sekolah yang luas, kantin, kebun, lapangan upacara, serta lapangan bola. Abi kemudian
mengajakku ke ruangan kelas 4. Kulihat muridnya sedikit, mungkin hanya belasan.
Lalu, Pak Guru datang menghampiriku,
“Hai, siapa namanya?” tanya Bapak itu.
“Um.. Maziya” jawabku.
Bersamaan dengan itu, kelas tersebut bubar. Dan ada seorang
anak laki-laki yang bertanya kepadaku.
“Namanya siapa?” tanyanya.
“Ziya”
jawabku.
Anak itupun langsung pergi.
Aku merasa heran, “Lho! Hanya itu saja?
Aneh sekali dia!” fikirku.
Pak Guru berkata, “Nama Abah, Abah Rifki, Kalau ini,
Ambu Ninis” katanya, dengan ramah.
“Kalau disini, panggil Bapak Guru dengan
sebutan Abah, Kalau Ibu Guru panggilannya Ambu” jelas Abah Rifki.
Aku
mengangguk mengerti.
“Oh.. Boleh lihat kelasnya gak Abah?” tanyaku.
“Boleh,
sini! Masuk saja!” kata Abah Rifki.
Aku masuk kedalam, melihat isi kelasnya.
Luar biasa, fikirku. Keadaannya sangat berbeda dari kelasku di Sekolah Kota. Disini
kelasnya ber-AC, ada infocus, loker-loker, toilet, serta tempat wudhu. Sebuah
pintu loker sedikit terbuka, Aku melihat ada benda yang janggal disana.
“Anu,
itu apa Abah?” tanyaku.
Abah Rifki menjawab, “Oh, itu kasur kecil, jika waktu
istirahat merasa ngantuk, boleh pakai kasur itu untuk tidur sebentar” jelasnya.
Aku mengangguk-angguk mengerti.
Tiba-tiba, “Ziya udah lihat-lihatnya? Ayo Kita pulang!”
ajak Abi, dari luar kelas.
Aku cepat berlari menghampirinya. Abi kemudian berterima
kasih kepada Abah Rifki dan Ambu Ninis, lalu berpamitan.
Di dalam mobil, Aku memandangi langit sambil berfikir,
kalau Aku sekolahnya disana, sepertinya akan betah.
Abi berkata padaku “Ziya gimana?
Mau pindah sekolah kesana?” tanya Abi. Aku langsung berkata,
“Iya! Mau dong!”
jawabku, mantap.
***
Esoknya, Aku bangun jam 5 subuh, mengambil air wudhu, lalu
mendirikan Sholat Shubuh. Setelahnya, aku mengaji beberapa ayat. Selesai
mengaji, Aku membaca sebuah novel KKPK berjudul “The Stars Girls” selama
beberapa menit.
Kemudian, Aku pergi mandi, berganti baju, dan sarapan nasi
goreng spesial buatan Ummi. Sambil sarapan, Abi berkata padaku
“Ziya, nanti Abi
sama Ummi mau minta surat izin pindah ke Kepala Sekolah Kota” katanya.
“Ziya
jangan dulu bilang sama Bu Guru Ziya mau pindah sekolah ya, biar nanti Abi sama
Ummi saja yang ngobrol ke Ibu Guru” lanjutnya.
Aku bertanya, “Kalo sama Killa?”
tanyaku.
“Kalo sama Killa saja boleh” jawabnya.
Abi tahu Killa adalah sahabat
terdekatku di Sekolah Kota.
Aku mengangguk mengerti, “Iya Abi!” kataku.
Sesampainya di Sekolah Kota, Kulihat Killa sudah ada
di kelas. Aku langsung mengajaknya ke halaman. Disana Aku memberikan sebuah
surat dan hadiah kertas binder kepada Killa, Ia langsung membaca surat dariku
Assalamu’alaikum
Killa,
Jujur
saja, Aku berencana mau pindah sekolah. Abi dan Ummi sudah mengizinkanku untuk
pindah ke sekolah baru, yaitu Sekolah Bhaskara. Kertas binder ini adalah kenang-kenangan
dariku untukmu. Karena Kamu adalah satu-satunya sahabatku di Sekolah ini. Nanti,
tolong jangan beritahu siapa-siapa dulu.”
Membaca surat tersebut, Killa meneteskan air mata.
“Ka… Kamu mau pindah?” tanyanya.
Aku mengangguk, “Iya, jangan nangis ya Killa!”
kataku.
Killa cepat menghapus air matanya.
Ia lalu berkata, “Maziya, pokoknya Aku
janji akan tetap tersenyum walaupun kamu gak ada! Makasih karena kamu sudah
baik sama Aku!” kata Killa.
Aku tersenyum, “Nah, gitu dong! Itu baru namanya
sahabatku!” kataku.
***
Hari Senin, seperti biasa Aku bangun jam 5 pagi. Aku
mengambil air wudhu, shalat subuh, terus mengaji beberapa ayat. Setelah itu, Aku
mandi, dan berganti baju dengan penuh semangat. Perasaanku senang sekali,
karena hari ini Aku akan berangkat sekolah ke sekolah yang baru. Tak sabar
ingin cepat-cepat berangkat.
“Ziya, sarapan dulu!” kata Ummi, sambil memberikan
sepiring nasi dengan telur goreng kesukaanku.
No comments:
Post a Comment