Bel
tanda istirahat usai sudah berbunyi. Anak-anak kelas 5 berlarian masuk kelas,
lalu duduk di bangkunya masing-masing. Semua anak sudah masuk kelas, kecuali
Shania. Kursinya masih kosong. Mita berulang kali melihat ke arah pintu kelas,
merasa ada sesuatu yang janggal. Tak biasanya Shania beristirahat lama-lama
diluar, Ia selalu masuk kelas bahkan sebelum bel berbunyi.
Setengah
jam berlalu, Bu Guru beserta murid-murid didalam kelas juga mulai merasa aneh.
“Ada yang tahu Shania tadi istirahat dimana?” tanya Bu Guru. Mita menggeleng,
tadi Ia menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan, sementara Shania
bermain bersama teman yang lain. “Mungkin Shania malas belajar Bu!” kata Gita,
asal. Ia menyembunyikan senyum jahatnya. Tak ada yang melihat, tapi Mita
melihatnya. Ia merasa curiga pada Gita.
Mita
seketika berdiri, lalu berkata pada Gita. “Kau tak boleh begitu Gita! Shania
adalah teman kita juga. Dan bukankah tadi Kau yang terakhir kali bersama
Shania?” tanya Mita. Sebenarnya Mita tak melihat Gita bersama-sama Shania
sewaktu istirahat tadi, tapi Mita hendak memancing kejujuran Gita.
Gita
menjadi kikuk, wajahnya terlihat gugup. “ba..bagaimana Mita bisa tahu tadi Aku
bersama Shania?’ fikirnya. Ia berusaha menutupi gugupnya, “Emm.. ti.. tidak..
tadi Aku tidak istirahat sama Shania kok..” ucapnya, terbata. Bu Guru melihat
Gita yang menjawab dengan ragu, Ia melihat tanda-tanda kebohongan dari nada
bicaranya. Bu Guru lalu bertanya untuk memastikan, “Gita, Kau tidak sedang
berbohong kan? Jika Kau tahu sesuatu, sebaiknya cepat katakan terus terang!”
kata Bu Guru dengan tegas.
Gita
kebingungan, Ia hendak menyanggah lagi, tapi tak jadi. Ia malah menjawab,
“ta..tadi.. Aku melihat Shania pergi ke.. toilet” katanya, suaranya memelan.
Tanpa diperintah, Mita langsung meloncat keluar dari bangku, “biar Mita yang
periksa ke toilet Bu!” ucapnya dengan lantang. Bu Guru mengangguk memperbolehkan.
Seketika Mita berlari ke arah toilet sekolah. Ia berlari secepat-cepatnya,
merasa khawatir terjadi sesuatu kepada Shania.
Di
toilet, Mita mencari-cari Shania. Hingga telinganya mendengar sayup ada suara
tangisan dari balik salah satu toilet yang pintunya tertutup. “Hiks.. hiks..
ayah.. ibu…” kata suara itu. Mita langsung mengenalinya, itu suara Shania.
“Shania!! Kau didalam?” panggil Mita, tangannya mengetuk keras pintunya yang
tertutup rapat. “IYAA!! Ini Aku didalam Mit!! Tolong Aku.. Pintunya ada yang
mengunci!!” kata Shania, masih sambil terisak. Mita berusaha membuka kuncinya,
sedikit macet. Tapi Mita tak menyerah, Ia terus berusaha membukanya sendirian.
Tak berhasil, Ia berlari keluar mengambil batu sebesar kepalan tangan.
BRAKK!
BRAKKK! Mita menghantamkan batu itu ke arah kunci. Dua kali hantam, dan
pintupun langsung terbuka lebar. Shania yang berada di dalamnya, langsung
meloncat keluar, memeluk Mita sambil menangis sesenggukan. “MITAAA!! Hu..hu…
Aku takut sekali. Pintunya tiba-tiba saja tidak bisa dibuka. Aku sudah
berteriak-teriak minta tolong. Tapi tak ada yang mendengar..” katanya. Mita
menepuk-nepuk punggung Shania, berusaha menenangkannya.
“Kau
tidak apa-apa Shania?” tanya Bu Guru, yang ternyata sudah berada di belakang
Mita. Gita terlihat menunduk, berdiri di samping Bu Guru. Shania menatap Bu
Guru, lalu mengangguk. “I..iya Bu.. Shania hanya ketakutan tadi” jawabnya. Bu
Guru mengelus kepala Shania, “Alhamdulillah jika Kau tidak apa-apa Shania. Gita
sudah mengakui semuanya, Ia orang yang mengikutimu ke toilet ini, dan Ia juga
yang menguncimu dari luar” kata Bu Guru.
Shania
terbelalak tak percaya. Mita melirik tajam ke arah Gita, “benarkah itu Git? Kau
yang mengunci Shania disini? Jahat sekali perbuatanmu itu. Kenapa Kau
melakukannya?” tanya Mita.
Gita
semakin tertunduk, “eu.. A.. Aku.. Aku..” katanya, terbata.
“Jawab
Gita!! Kenapa Kau melakukannya?” bentak Mita. Gita mulai menangis, Ia tak
pernah mendengar Mita membentak siapapun. Ia anak yang tak pernah terlihat
marah. Itu sebabnya Gita suka sekali berteman dengan Mita. Ia tak menyangka,
perbuatannya kali ini sudah membuat Mita benar-benar marah pada dirinya.
“A..
Aku.. Aku benci pada Shania, karena Dia sudah merebut sahabatku.. Kau Mita. Aku
juga benci karena Dia jualan kue, yang digemari teman-teman sekelas. Sementara
daganganku tak ada satupun yang mau beli. Aku kesal, sepertinya Dia sudah
merebut semuanya dariku” kata Gita, sedih.
Bu
Guru memandang mereka bergantian, lalu berkata dengan bijak. “Gita, seringkali
karena kita dipengaruhi emosi, lantas tidak bisa berfikir sebagaimana mestinya,
tidak bisa bersikap sebagaimana seharusnya. Apalagi saat emosi, syetan begitu
mudahnya mempengaruhi kita. Membuat prilaku kita menjadi jahat, seperti apa
yang mereka inginkan. Tidak lain agar kita menjadi temannya di neraka nanti.
Kau tidak ingin masuk ke panasnya api neraka bukan?” ucap Bu Guru.
Gita
menggeleng, Ia menyadari kesalahannya. “Ma..maafkan Aku Shan.. Maafkan Aku yang
sudah membencimu, berbuat jahat padamu..” kata Gita, tulus.
Shania
menoleh ke arah Mita, mereka berdua lalu memandang Gita dengan perasaan iba.
Tak lama, Shania lalu memeluk Gita erat. “Tak apa Git. Aku memafkanmu kok” kata
Shania, berbesar hati. Mita lalu mendekat, memeluk mereka juga. “Maafkan Aku
juga ya Git. Jika akhir-akhir ini Kau merasa diabaikan olehku” ucap Mita.
Gita
mengangguk, matanya berurai air mata haru. Ia begitu senang memiliki
teman-teman sebaik Mita dan Shania. “Te..terima kasih Shan.. terima kasih Mit”
kata Gita, lirih. Mereka bertiga berpelukan sembari menangis haru.
Mita
lalu berbisik pada kedua temannya, “mulai sekarang kita bertiga akan menjadi
sahabat sejati. Saling mengingatkan pada kebaikan, dan saling mencegah dari
keburukan. Sehingga persahabatan kita ini akan diridhoi Allah, dan bersama-sama
tetap bersahabat hingga nanti masuk ke syurga” ucap Mita, dengan bijaknya.
Mereka bertiga semakin tenggelam dalam suasana haru.
“Aduuh..
Kalian membuat Ibu bangga jadi guru kalian. Tapi apa Ibu boleh ikut pelukan
juga?” kata Bu Guru tiba-tiba, sambil tersenyum. Ketiga sahabat saling
memandang satu sama lain, tertawa riang, kemudian menghambur memeluk Bu Guru
bersama-sama.
TAMAT
No comments:
Post a Comment