Sunday, June 30, 2019

Teman Baru Mita dan Gita (1)


Mita adalah seorang siswi di kelas 5 Sekolah Dasar, Ia adalah anak perempuan manis berkerudung, berusia 12 tahun. Sudah sejak dulu Ia memiliki hobi membaca, terutama buku-buku cerita. Hingga hobinya itu berlanjut pada kegiatannya menulis cerpen. Banyak teman menyukai Mita, karena sikapnya yang selalu baik pada siapa saja, termasuk pada Gita sahabatnya. Bahkan di sekolah, Mita dan Gita duduk sebangku, mereka satu kelas sudah sejak kelas dua. Tak heran jika mereka begitu dekat satu sama lain. Apalagi Gita termasuk anak yang periang, suka bercanda dan memberi tebakan.  Gita memang sangat seru sebagai teman, disamping rambut lurusnya begitu indah dan dibiarkan memanjang.

Pada suatu hari, kelas mereka kedatangan murid baru bernama Shania. Seorang anak perempuan berponi, dengan rambut lurus dan dipotong pendek. Ia datang dari kota lain, baru pindah ke kota ini dua minggu ke belakang. Sama dengan Mita, Ia gemar sekali membaca dan membuat cerpen. Karenanya, Mita dan Shania bisa mengobrol lama tentang buku-buku, cerita-cerita, juga tentang hobi mereka yang sama.

Ketika mata pelajaran komputer, Shania tiba-tiba mendekati bangku Gita. Ia berkata padanya, “maaf, apakah Aku boleh tukar tempat duduk, menjadi sebangku dengan Mita?” tanya Shania. Gita seketika mendelik marah, lalu berkata nyaring, “GAK BOLEH!” jawab Gita. Tak peduli jika suaranya itu telah mengganggu teman-teman yang duduk disebelahnya. Onelia, yang tengah mengetik di depan bangku Gita memprotes, “aduuh, kalian berisik sekali sih!” katanya. Beruntung, Guru sedang berada di luar kelas.

Menyadari ada kawan yang terganggu, Mita mencoba menengahi, “Git, tak apa-apa, Kamu mengalah saja dulu, Ia kan murid baru..” bujuknya. Gita cemberut, terpaksa mengalah pada Shania. Jika bukan Mita sendiri yang memintanya, sudah tentu Ia tak akan sedikitpun mengalah.

KRIIING.. Bel istirahat berbunyi, semua anak bergerombol menuju ke kantin. Banyak siswa yang bicara satu sama lain dengan antusiasnya. Mereka sudah mendengar tentang menu baru di kantin, kue Raspberry Cheese. Kelezatan rasanya lebih dulu menyebar di sekolah dibanding dengan kuenya. Maklum saja, karena dibuatnya terbatas, kue itu seringkali sudah habis bahkan ketika masih ada anak-anak yang mengantri ingin membelinya, dan mereka merasa kecewa karenanya. Termasuk Gita, Onelia, dan Mita. Sudah beberapa hari ini mereka ikut mengantri, tapi selalu saja kehabisan.

Esoknya, Shania datang ke sekolah tak hanya membawa tas punggung. Tapi Ia menjinjing sebuah tas keresek besar di tangan kanannya. Teman-teman sekelas memandanginya penasaran. Shania meletakkan tas keresek itu di atas meja, lalu membukanya. Semua teman yang mengerumuninya langsung terpana.

“Waah.. Shania, Kau mau jualan kue coklat dan muffin ya?” tanya Mita. Shania mengangguk, “iya Mit, Ibuku di rumah sebenarnya membuka toko kue kecil-kecilan. Waktu Aku bilang kemarin kita tak kebagian Raspberry Cheese di kantin, Ibuku merasa kasihan, lalu menyuruhku bawa saja sebagian kue yang ada di toko. Ia berkata bahwa rasanya tak kalah lezat dengan Raspberry Cheese, sama-sama enak. Besok-besok Ibu akan coba membuat Raspberry juga. Untuk hari ini, Shania baru bisa bawa kue yang ini. Tenang saja, harganya lebih murah. Shania gak akan jual mahal-mahal kok. Kalau ada kawan yang ingin pesan jenis kue tertentu, bilang saja. Nanti mudah-mudahan Ibu Shania bisa membuatkannya” kata Shania panjang lebar. Mita dan semua kawan yang mengerumuninya tersenyum senang. Semua, kecuali Gita.

“Muffin Coklat berapaan Shan?” tanya Onelia. Shania tersenyum, “sebenarnya namanya bukan muffin coklat, tapi Chocolate Muffin Girls. Harganya Rp 2500 saja” jawab Shania. Onelia merogoh sakunya, “asyiik.. Aku beli dua Shan. Yang ada krim putih di atasnya ya” kata Onelia. Shania mengangguk, mengambilkan kue yang dimaksud Onelia dengan tangan kanannya yang sudah memakai sarung tangan plastik. Ia begitu memperhatikan kebersihan kue dagangannya. Ia pun tampak cekatan melayani Onelia dan teman-teman lainnya. Sepertinya Shania memang sudah sering membantu melayani pembeli di toko kue ibunya.

Tiba-tiba, “Idiiiih.. kalian kok malah ribut sama Muffin Shania sih? Ibuku juga kreatif lho, Ia pintar membatik. Malah punya toko batik besar. Yang Aku yakin tokonya itu jauh lebih besar dari toko kue Ibunya Shania!” kata Gita, dengan pongahnya. Mendengar kata-kata Gita, Shania hanya bisa menunduk, wajahnya terlihat sedih. Mita merasa tak enak, Ia langsung berkata pada Gita, “GITA!! Kau tak boleh berkata seperti itu! Kau tak boleh sombong, tak boleh pamer!” ucapnya. Gita langsung membantahnya, “bukan sombong Mit. Aku tahu Shania jualan kue hanya karena ingin untung. Lihat saja, besok Aku juga akan berjualan batik. Akan kutunjukkan siapa yang menang!” kata Gita, sambil berbalik pergi keluar kelas. Meninggalkan Mita yang menggeleng-gelengkan kepalanya, Shania yang masih menunduk bersedih, dan kawan-kawan lainnya yang saling berbisik satu sama lain.

Benar saja, keesokan harinya Gita benar-benar membawa kain batik ke sekolah. Sebenarnya Ia sudah dilarang ibunya, tak cocok berjualan batik di kelas, apalagi pada anak-anak kelas 5 SD, tak akan ada yang mau beli. Tapi Gita malah merajuk, memaksa ibunya meminjamkan belasan batik untuk Ia bawa. Sayang, kawan-kawan sekelasnya hanya mengerumuninya sebentar, melihat-lihat corak batik yang bermacam-macam. Kemudian satu per satu mereka bubar, lalu ganti mengerumuni kue-kue yang Shania bawa. Membuat Gita semakin kesal, wajahnya terlihat merah padam. “Gak ada yang mau nemenin Aku, gak ada yang mau beli dagangan Aku. Semua gara-gara Si Murid baru itu. Shania. Akan kubalas Kau!” bisik Gita dari bangkunya, kedua matanya menatap Shania dari kejauhan dengan pandangan penuh kemarahan.

 Bersambung

No comments:

Post a Comment