Mita
adalah seorang siswi di kelas 5 Sekolah Dasar, Ia adalah anak perempuan manis berkerudung,
berusia 12 tahun. Sudah sejak dulu Ia memiliki hobi membaca, terutama buku-buku
cerita. Hingga hobinya itu berlanjut pada kegiatannya menulis cerpen. Banyak
teman menyukai Mita, karena sikapnya yang selalu baik pada siapa saja, termasuk
pada Gita sahabatnya. Bahkan di sekolah, Mita dan Gita duduk sebangku, mereka
satu kelas sudah sejak kelas dua. Tak heran jika mereka begitu dekat satu sama
lain. Apalagi Gita termasuk anak yang periang, suka bercanda dan memberi
tebakan. Gita memang sangat seru sebagai
teman, disamping rambut lurusnya begitu indah dan dibiarkan memanjang.
Pada
suatu hari, kelas mereka kedatangan murid baru bernama Shania. Seorang anak
perempuan berponi, dengan rambut lurus dan dipotong pendek. Ia datang dari kota
lain, baru pindah ke kota ini dua minggu ke belakang. Sama dengan Mita, Ia
gemar sekali membaca dan membuat cerpen. Karenanya, Mita dan Shania bisa
mengobrol lama tentang buku-buku, cerita-cerita, juga tentang hobi mereka yang
sama.
Ketika
mata pelajaran komputer, Shania tiba-tiba mendekati bangku Gita. Ia berkata
padanya, “maaf, apakah Aku boleh tukar tempat duduk, menjadi sebangku dengan
Mita?” tanya Shania. Gita seketika mendelik marah, lalu berkata nyaring, “GAK
BOLEH!” jawab Gita. Tak peduli jika suaranya itu telah mengganggu teman-teman
yang duduk disebelahnya. Onelia, yang tengah mengetik di depan bangku Gita
memprotes, “aduuh, kalian berisik sekali sih!” katanya. Beruntung, Guru sedang
berada di luar kelas.
Menyadari
ada kawan yang terganggu, Mita mencoba menengahi, “Git, tak apa-apa, Kamu mengalah
saja dulu, Ia kan murid baru..” bujuknya. Gita cemberut, terpaksa mengalah pada
Shania. Jika bukan Mita sendiri yang memintanya, sudah tentu Ia tak akan
sedikitpun mengalah.
KRIIING..
Bel istirahat berbunyi, semua anak bergerombol menuju ke kantin. Banyak siswa
yang bicara satu sama lain dengan antusiasnya. Mereka sudah mendengar tentang
menu baru di kantin, kue Raspberry Cheese. Kelezatan rasanya lebih dulu
menyebar di sekolah dibanding dengan kuenya. Maklum saja, karena dibuatnya
terbatas, kue itu seringkali sudah habis bahkan ketika masih ada anak-anak yang
mengantri ingin membelinya, dan mereka merasa kecewa karenanya. Termasuk Gita,
Onelia, dan Mita. Sudah beberapa hari ini mereka ikut mengantri, tapi selalu
saja kehabisan.
Esoknya,
Shania datang ke sekolah tak hanya membawa tas punggung. Tapi Ia menjinjing
sebuah tas keresek besar di tangan kanannya. Teman-teman sekelas memandanginya
penasaran. Shania meletakkan tas keresek itu di atas meja, lalu membukanya.
Semua teman yang mengerumuninya langsung terpana.
“Waah..
Shania, Kau mau jualan kue coklat dan muffin ya?” tanya Mita. Shania
mengangguk, “iya Mit, Ibuku di rumah sebenarnya membuka toko kue kecil-kecilan.
Waktu Aku bilang kemarin kita tak kebagian Raspberry Cheese di kantin, Ibuku
merasa kasihan, lalu menyuruhku bawa saja sebagian kue yang ada di toko. Ia berkata
bahwa rasanya tak kalah lezat dengan Raspberry Cheese, sama-sama enak.
Besok-besok Ibu akan coba membuat Raspberry juga. Untuk hari ini, Shania baru
bisa bawa kue yang ini. Tenang saja, harganya lebih murah. Shania gak akan jual
mahal-mahal kok. Kalau ada kawan yang ingin pesan jenis kue tertentu, bilang
saja. Nanti mudah-mudahan Ibu Shania bisa membuatkannya” kata Shania panjang
lebar. Mita dan semua kawan yang mengerumuninya tersenyum senang. Semua,
kecuali Gita.
“Muffin
Coklat berapaan Shan?” tanya Onelia. Shania tersenyum, “sebenarnya namanya
bukan muffin coklat, tapi Chocolate Muffin Girls. Harganya Rp 2500 saja” jawab
Shania. Onelia merogoh sakunya, “asyiik.. Aku beli dua Shan. Yang ada krim
putih di atasnya ya” kata Onelia. Shania mengangguk, mengambilkan kue yang
dimaksud Onelia dengan tangan kanannya yang sudah memakai sarung tangan
plastik. Ia begitu memperhatikan kebersihan kue dagangannya. Ia pun tampak
cekatan melayani Onelia dan teman-teman lainnya. Sepertinya Shania memang sudah
sering membantu melayani pembeli di toko kue ibunya.
Tiba-tiba,
“Idiiiih.. kalian kok malah ribut sama Muffin Shania sih? Ibuku juga kreatif
lho, Ia pintar membatik. Malah punya toko batik besar. Yang Aku yakin tokonya itu
jauh lebih besar dari toko kue Ibunya Shania!” kata Gita, dengan pongahnya.
Mendengar kata-kata Gita, Shania hanya bisa menunduk, wajahnya terlihat sedih.
Mita merasa tak enak, Ia langsung berkata pada Gita, “GITA!! Kau tak boleh
berkata seperti itu! Kau tak boleh sombong, tak boleh pamer!” ucapnya. Gita
langsung membantahnya, “bukan sombong Mit. Aku tahu Shania jualan kue hanya
karena ingin untung. Lihat saja, besok Aku juga akan berjualan batik. Akan
kutunjukkan siapa yang menang!” kata Gita, sambil berbalik pergi keluar kelas.
Meninggalkan Mita yang menggeleng-gelengkan kepalanya, Shania yang masih
menunduk bersedih, dan kawan-kawan lainnya yang saling berbisik satu sama lain.
Benar
saja, keesokan harinya Gita benar-benar membawa kain batik ke sekolah.
Sebenarnya Ia sudah dilarang ibunya, tak cocok berjualan batik di kelas,
apalagi pada anak-anak kelas 5 SD, tak akan ada yang mau beli. Tapi Gita malah
merajuk, memaksa ibunya meminjamkan belasan batik untuk Ia bawa. Sayang,
kawan-kawan sekelasnya hanya mengerumuninya sebentar, melihat-lihat corak batik
yang bermacam-macam. Kemudian satu per satu mereka bubar, lalu ganti
mengerumuni kue-kue yang Shania bawa. Membuat Gita semakin kesal, wajahnya
terlihat merah padam. “Gak ada yang mau nemenin Aku, gak ada yang mau beli
dagangan Aku. Semua gara-gara Si Murid baru itu. Shania. Akan kubalas Kau!”
bisik Gita dari bangkunya, kedua matanya menatap Shania dari kejauhan dengan
pandangan penuh kemarahan.
Bersambung
No comments:
Post a Comment